Hari Senin pagi, sinar matahari pagi menyapa dunia dengan ramahnya. Lebatnya dedaunan pohon beringin tak menghalanginya menyinari tanah yang basah karena hujan semalam di bawahnya. Tak ketinggalan suara kicau burung-burung kecil dan binatang-binatang mungil lainnya saling bersahutan di halaman rumah Leo.
Pemuda itu sudah bersiap-siap dengan seragam sekolahnya. Dia tak menyangka bahwa ia telah menjadi siswa kelas 3 SMA, yang berarti tinggal setahun lagi ia akan lulus dan meninggalkan masa-masa sekolahnya. Tak mengapa dia sendiri seperti tidak terlalu memperdulikannya, dengan memanggul tas di bahu kirinya ia menuju pintu rumahnya dan pergi ke sekolah.
“Leo! Pagi...!!!”, suara Lina memanggil Leo yang berjalan sendiri di trotoar.
“Pagi... tumben nggak bareng Sinta? Biasanya kalau berangkat selalu bareng”
“Nggak, tadi gue mampir ke rumahnya dan kata mamanya Sinta diantar sama ayahnya”, jawab Lina sambil memegang sebuah gulungan kertas yang lumayan besar. Tapi Leo tidak menanyakan apa gulungan itu, ”Mungkin itu hanya poster untuk kegiatan OSIS”, pikirnya.
Leo dan Lina sampai di perempatan jalan menuju sekolah mereka dan mereka berjumpa dengan Seno dan Randa.
”Hello”, sapa Leo dan Lina.
”Yoo”, jawab Seno. Randa hanya mengangkat sebelah tangannya menjawab salam keduanya.
Seno, Leo dan Randa adalah sahabat sejak kecil. Rumah mereka tidak berjauhan, paling jauh sekitar 300 meter, mereka bertiga juga sangat akrab walaupun bisa dibilang mereka bertiga adalah teman bermain yang sedikit aneh. Seno orang sangat bersemangat dan periang, Leo sifatnya sedikit tertutup tapi sangat terbuka dan hanya ramah kepada orang yang dianggapnya tepat, sedangkan Randa pribadinya selalu tenang dan tak suka basa-basi, mereka bertiga dari kecil sangat kompak. Ketiganya suka bermain sepakbola dan mereka sering bermain di lapangan dekat rumah, entah bersama anak-anak lainnya atau hanya bertiga saja.
Di dekat rumah mereka ada sebuah klub sepakbola. Tak banyak yang menjadi anggota klub itu. Tapi bagi Seno dan Randa tempat itu sangat berarti karena mereka bisa menyalurkan minat, hobi dan bakatnya dalam sepakbola.
Lain halnya dengan Leo, ia sebenarnya tidak bisa menyukai sepakbola sepenuhnya. Ia dimasukkan ke klub sepakbola itu karena paksaan ayahnya yang maniak sepakbola. Seandainya tidak ada Seno dan Randa yang menjadi anggota klub sepakbola miskin itu, Leo tak akan pernah mau bergabung.
Sejak SMP, ketiga sahabat itu sudah sering bertanding melawan klub sepakbola lain dan mengikuti beberapa kejuaraan. Walaupun tim mereka tak pernah menjuarai semua turnamen itu, tapi beberapa pengamat sepakbola sering memuji penampilan Seno, Randa dan anehnya Leo juga.
Menurut pendapat mereka, Seno sangat lihai dan cepat dalam pergerakan dan reflek tubuh serta naluri dan kecepatan yang tinggi sebagai pemain penyerang. Leo, walaupun tidak selincah Seno tapi ia cukup baik dalam melakukan cross pass. Randa, dialah yang menjadi daya tarik karena skillnya dalam passing, dribble, dan teknik-teknik dasar sepakbola lainnya diatas rata-rata terutama kemampuan self-dribbling-nya. Selain itu Randa juga bisa dimainkan di segala posisi, ia adalah pemain serba bisa.
Agoenk Soccer Club, tim sepakbola Seno, Randa dan Leo dinamakan tidak pernah menjadi juara walau juara harapan sekalipun karena selain mereka bertiga, pemain lain di tim itu kemampuannya masih kurang. Tapi hal itu tak masalah bagi ketiga bersahabat itu karena asal bisa bertanding itu sudah cukup, terutama Seno dan Randa.
”Kak Leo! Jahat amat sih Kakak ninggalin aku di rumah, kenapa nggak nungguin?”, suara Reni marah dan terengah-engah. Jelas terlihat ia habis berlari.
”Siapa suruh, kamu mandi aja lama amat kayak penganten. Untung Kakak mandi duluan daripada kamu. Kalau nggak, bisa telat ke sekolah”, Leo menjawab sambil sedikit nyengir. Lina dan Seno tertawa melihat muka cemberut Reni, Randa hanya tersenyum kecil melihat mereka bertengkar.
Reni adalah adik Leo, sifatnya hampir sama dengan Seno dan sangat akrab dengan kakaknya. Walaupun begitu sebenarnya Reni adalah adik tiri Leo, ia diadopsi ketika baru berusia 3 tahun. Tapi, bagi Leo itu tidak menjadi masalah. Ia senang karena mempunyai adik perempuan yang lucu dan periang, ia pun menganggap Reni seperti adik kandungnya sendiri. Terkadang Leo pun agak protektif kepadanya.
Reni melihat gulungan yang mirip selebaran yang dipegang oleh Lina dan ia menanyakan apa isi gulungan itu. Sebelum Lina membuka gulungan tersebut, Leo melihat Sinta di dekat papan pengumuman. Ia memanggilnya namun Sinta hanya tersenyum kecil, memang ia sangat pemalu dan jarang berbicara dengan orang lain. Hanya Leo saja yang bisa membuatnya berbicara walau Sinta berbicara agak gugup.
”Lebih baik kita lihat dulu pembagian kelas di papan pengumuman”, ajak Seno dan lainnya mengikuti dari belakang.
Dan mereka bergegas berjalan ke papan pengumuman yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk. Tahun lalu ketika Seno, Randa dan Leo kelas 2 mereka tidak berada dalam satu kelas, dan tahun ini mereka berharap akan masuk ke kelas yang sama. Seno dan Leo berusaha selama satu tahun di kelas dua agar bisa minimal mengimbangi kemampuan akademis Randa yang jenius, Randa pun membantu mereka dengan membentuk kelompok belajar yang diadakan di rumah Seno.
Di dalam kelompok belajar itu ada juga Lina dan Sinta yang saat itu duduk di kelas satu. Kedua cewek itu diajak oleh Seno. Awalnya Seno berniat mengajak Sinta saja, tapi ia juga mengajak Lina karena Sinta tidak mau kalau tidak ada cewek lain di kelompok itu. ”Yah, nggak apa-apalah biar lebih rame”, pikir Seno.
”Eh, salah satu aja deh yang liat! Rame banget disana, nanti hasilnya laporin ke sini”, saran Lina.
Cewek itu melihat begitu banyaknya siswa yang memadati sebuah papan yang dipancang permanen berukuran 4x5 meter dan ditempeli beberapa kertas berisikan daftar nama-nama. Lembar satu berisikan daftar nama-nama yang akan menduduki kelas A, lembar kedua adalah kelas B dan seterusnya.
”Rasanya tidak perlu, kita akan tahu sebentar lagi. Hei... Sinta gimana pembagian kelasnya?” Leo bertanya kepada Sinta yang kelihatannya sudah melihat semua daftar tersebut.
”Aaa.. Lina dan Aku di kelas 2-B, lalu Reni di..di kelas 1-B”, Sinta berkata dengan gugup.
”Hah? Bener...? Yeeaah!! Sinta, kita sekelas donk!!! Nanti gue duduk sama elo yah?” Lina bersorak senang sambil merangkul Sinta.
”Lalu kamu tahu kita bertiga di kelas mana?”, tanya Leo tidak sabar menunggu jawaban Sinta.
”K..kak Leo, Kak Randa dan Kak Seno di ke...kelas 3-A”, jawab Sinta makin grogi karena dirangkul Lina
Ketiga cowok itu terdiam, mencoba memahami kata-kata Sinta barusan dan mereka saling berpandangan. Sesaat kemudian mereka berteriak melepaskan kegembiraan karena perjuangan selama satu tahun berhasil mereka capai. Ini berarti mereka bisa bersama selama tahun terakhir mereka di SMA.
Bersambung
Pemuda itu sudah bersiap-siap dengan seragam sekolahnya. Dia tak menyangka bahwa ia telah menjadi siswa kelas 3 SMA, yang berarti tinggal setahun lagi ia akan lulus dan meninggalkan masa-masa sekolahnya. Tak mengapa dia sendiri seperti tidak terlalu memperdulikannya, dengan memanggul tas di bahu kirinya ia menuju pintu rumahnya dan pergi ke sekolah.
“Leo! Pagi...!!!”, suara Lina memanggil Leo yang berjalan sendiri di trotoar.
“Pagi... tumben nggak bareng Sinta? Biasanya kalau berangkat selalu bareng”
“Nggak, tadi gue mampir ke rumahnya dan kata mamanya Sinta diantar sama ayahnya”, jawab Lina sambil memegang sebuah gulungan kertas yang lumayan besar. Tapi Leo tidak menanyakan apa gulungan itu, ”Mungkin itu hanya poster untuk kegiatan OSIS”, pikirnya.
Leo dan Lina sampai di perempatan jalan menuju sekolah mereka dan mereka berjumpa dengan Seno dan Randa.
”Hello”, sapa Leo dan Lina.
”Yoo”, jawab Seno. Randa hanya mengangkat sebelah tangannya menjawab salam keduanya.
Seno, Leo dan Randa adalah sahabat sejak kecil. Rumah mereka tidak berjauhan, paling jauh sekitar 300 meter, mereka bertiga juga sangat akrab walaupun bisa dibilang mereka bertiga adalah teman bermain yang sedikit aneh. Seno orang sangat bersemangat dan periang, Leo sifatnya sedikit tertutup tapi sangat terbuka dan hanya ramah kepada orang yang dianggapnya tepat, sedangkan Randa pribadinya selalu tenang dan tak suka basa-basi, mereka bertiga dari kecil sangat kompak. Ketiganya suka bermain sepakbola dan mereka sering bermain di lapangan dekat rumah, entah bersama anak-anak lainnya atau hanya bertiga saja.
Di dekat rumah mereka ada sebuah klub sepakbola. Tak banyak yang menjadi anggota klub itu. Tapi bagi Seno dan Randa tempat itu sangat berarti karena mereka bisa menyalurkan minat, hobi dan bakatnya dalam sepakbola.
Lain halnya dengan Leo, ia sebenarnya tidak bisa menyukai sepakbola sepenuhnya. Ia dimasukkan ke klub sepakbola itu karena paksaan ayahnya yang maniak sepakbola. Seandainya tidak ada Seno dan Randa yang menjadi anggota klub sepakbola miskin itu, Leo tak akan pernah mau bergabung.
Sejak SMP, ketiga sahabat itu sudah sering bertanding melawan klub sepakbola lain dan mengikuti beberapa kejuaraan. Walaupun tim mereka tak pernah menjuarai semua turnamen itu, tapi beberapa pengamat sepakbola sering memuji penampilan Seno, Randa dan anehnya Leo juga.
Menurut pendapat mereka, Seno sangat lihai dan cepat dalam pergerakan dan reflek tubuh serta naluri dan kecepatan yang tinggi sebagai pemain penyerang. Leo, walaupun tidak selincah Seno tapi ia cukup baik dalam melakukan cross pass. Randa, dialah yang menjadi daya tarik karena skillnya dalam passing, dribble, dan teknik-teknik dasar sepakbola lainnya diatas rata-rata terutama kemampuan self-dribbling-nya. Selain itu Randa juga bisa dimainkan di segala posisi, ia adalah pemain serba bisa.
Agoenk Soccer Club, tim sepakbola Seno, Randa dan Leo dinamakan tidak pernah menjadi juara walau juara harapan sekalipun karena selain mereka bertiga, pemain lain di tim itu kemampuannya masih kurang. Tapi hal itu tak masalah bagi ketiga bersahabat itu karena asal bisa bertanding itu sudah cukup, terutama Seno dan Randa.
***
Akhirnya mereka berempat sampai di gerbang sekolah mereka, SMU 203, ketika akan lewat gerbang pintu masuk tiba-tiba Leo merasa kepalanya terkena lemparan kerikil diiringi suara seseorang dari belakang.”Kak Leo! Jahat amat sih Kakak ninggalin aku di rumah, kenapa nggak nungguin?”, suara Reni marah dan terengah-engah. Jelas terlihat ia habis berlari.
”Siapa suruh, kamu mandi aja lama amat kayak penganten. Untung Kakak mandi duluan daripada kamu. Kalau nggak, bisa telat ke sekolah”, Leo menjawab sambil sedikit nyengir. Lina dan Seno tertawa melihat muka cemberut Reni, Randa hanya tersenyum kecil melihat mereka bertengkar.
Reni adalah adik Leo, sifatnya hampir sama dengan Seno dan sangat akrab dengan kakaknya. Walaupun begitu sebenarnya Reni adalah adik tiri Leo, ia diadopsi ketika baru berusia 3 tahun. Tapi, bagi Leo itu tidak menjadi masalah. Ia senang karena mempunyai adik perempuan yang lucu dan periang, ia pun menganggap Reni seperti adik kandungnya sendiri. Terkadang Leo pun agak protektif kepadanya.
Reni melihat gulungan yang mirip selebaran yang dipegang oleh Lina dan ia menanyakan apa isi gulungan itu. Sebelum Lina membuka gulungan tersebut, Leo melihat Sinta di dekat papan pengumuman. Ia memanggilnya namun Sinta hanya tersenyum kecil, memang ia sangat pemalu dan jarang berbicara dengan orang lain. Hanya Leo saja yang bisa membuatnya berbicara walau Sinta berbicara agak gugup.
”Lebih baik kita lihat dulu pembagian kelas di papan pengumuman”, ajak Seno dan lainnya mengikuti dari belakang.
Dan mereka bergegas berjalan ke papan pengumuman yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk. Tahun lalu ketika Seno, Randa dan Leo kelas 2 mereka tidak berada dalam satu kelas, dan tahun ini mereka berharap akan masuk ke kelas yang sama. Seno dan Leo berusaha selama satu tahun di kelas dua agar bisa minimal mengimbangi kemampuan akademis Randa yang jenius, Randa pun membantu mereka dengan membentuk kelompok belajar yang diadakan di rumah Seno.
Di dalam kelompok belajar itu ada juga Lina dan Sinta yang saat itu duduk di kelas satu. Kedua cewek itu diajak oleh Seno. Awalnya Seno berniat mengajak Sinta saja, tapi ia juga mengajak Lina karena Sinta tidak mau kalau tidak ada cewek lain di kelompok itu. ”Yah, nggak apa-apalah biar lebih rame”, pikir Seno.
***
”Eh, salah satu aja deh yang liat! Rame banget disana, nanti hasilnya laporin ke sini”, saran Lina.
Cewek itu melihat begitu banyaknya siswa yang memadati sebuah papan yang dipancang permanen berukuran 4x5 meter dan ditempeli beberapa kertas berisikan daftar nama-nama. Lembar satu berisikan daftar nama-nama yang akan menduduki kelas A, lembar kedua adalah kelas B dan seterusnya.
”Rasanya tidak perlu, kita akan tahu sebentar lagi. Hei... Sinta gimana pembagian kelasnya?” Leo bertanya kepada Sinta yang kelihatannya sudah melihat semua daftar tersebut.
”Aaa.. Lina dan Aku di kelas 2-B, lalu Reni di..di kelas 1-B”, Sinta berkata dengan gugup.
”Hah? Bener...? Yeeaah!! Sinta, kita sekelas donk!!! Nanti gue duduk sama elo yah?” Lina bersorak senang sambil merangkul Sinta.
”Lalu kamu tahu kita bertiga di kelas mana?”, tanya Leo tidak sabar menunggu jawaban Sinta.
”K..kak Leo, Kak Randa dan Kak Seno di ke...kelas 3-A”, jawab Sinta makin grogi karena dirangkul Lina
Ketiga cowok itu terdiam, mencoba memahami kata-kata Sinta barusan dan mereka saling berpandangan. Sesaat kemudian mereka berteriak melepaskan kegembiraan karena perjuangan selama satu tahun berhasil mereka capai. Ini berarti mereka bisa bersama selama tahun terakhir mereka di SMA.
Bersambung
0 comments:
Post a Comment